Pages

Minggu, 17 November 2013

Menjadi Perempuan Harapan R A Kartini

“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”. Demikian bunyi salah satu surat dari tokoh perjuangan kaum perempuan, Raden Ajeng Kartini, yang ditulisnya bulan Agustus tahun 1900.
Hal Apa yang bisa direnungkan dan dimaknai oleh para perempuan jaman sekarang ini, dari sepenggal kalimat yang ditulis oleh Kartini di atas? Yaitu menjadi manusia sepenuhnya, namun tetap menjadi wanita seutuhnya.
Kartini dikenal sebagai tokoh yang mengangkat harkat martabat perempuan Indonesia. Memperjuangkan hak-hak seorang perempuan untuk mendapat pendidikan yang layak, bebas menimba ilmu pengetahuan, serta bisa bekerja dan berkarya.
Jika kita maknai surat Kartini pada penggalan pertama kalimat itu, Kartini menginginkan para perempuan bisa menjadi manusia sepenuhnya. Maksudnya, menjadi sosok perempuan yang layak mendapatkan hak-haknya. Menjadi perempuan yang seharusnya pintar, berbudi dan mandiri.
“Tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”. Di sini Kartini menegaskan perempuan tidaklah harus menjadi sesosok lelaki untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya. Jadilah sosok perempuan apa adanya.
Sosok yang lemah lembut, berbudi pekerti luhur, bertanggung jawab terhadap rumah tangganya, sebagai sosok ibu bagi anak-anaknya, dan juga sebagai kekasih hati bagi suaminya.
Kartini berharap, perempuan di negeri ini bisa mendapatkan haknya sebagai manusia yang layak. Tanpa harus ada batasan gender dan sebagainya. Perempuan sudah selayaknya bekerja sesuai dengan kemampuannya, berkarya sebisanya, namun juga tak lepas dari tanggung jawab sebagai sesosok ibu di dalam rumah tangganya kelak.
“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan,” tulis Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Abendon, 4 September 1901. Puluhan tahun yang lalu, Kartini sudah menegaskan dan menganjurkan kepada perempuan, untuk bisa menggapai cita-citanya setinggi langit.
Meski begitu, emansipasi wanita janganlah diterjemahkan sebagai kebebasan yang salah kaprah. Emansipasi bukan berarti harus mengalahkan laki-laki dalam segala hal. Dan juga, bukan berarti harus bebas berbuat seperti yang diperbuat oleh lelaki.
Kartini menginginkan perempuan yang bersikap sesuai porsinya, dan bisa menempatkan posisinya sebagaimana fitrahnya seorang perempuan. “Alangkah bahagianya laki-laki, bila isterinya bukan hanya menjadi pengurus rumah tangganya dan ibu anak-anaknya saja, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaannya, menghayatinya bersama suaminya.” (Kartini, 4 Oktober 1902).
Perempuan sejati, harus memikul tanggung jawab sebagai seorang perempuan. Perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak, dan perlakuan yang sewajarnya.
Dalam surat Kartini yang ditulisnya kepada Professor Anton, 4 Oktober 1901, Kartini menulis, “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya, menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Simak juga surat Kartini lainnya. “Bukan terhadap kaum pria kami melancarkan peperangan. Tetapi terhadap anggapan kuno, adat, yang tidak lagi mendatangkan kebajikan bagi Jawa kami di kemudian hari, dan juga dengan beberapa orang lain kami akan bersama-sama jadi pelopornya.” (Kartini, 10 Juni 1902)
Di surat ini, Kartini tidak ingin kaum perempuan bersaing dengan lelaki atau menjadi sosok seorang lelaki, tetapi tetaplah sebagai perempuan yang handal mengerjakan kewajibannya. Perempuan harus bisa menimba ilmu pengetahuan layaknya lelaki dan harus selalu menjaga sikap dan tingkah lakunya, agar menjadi sosok perempuan yang pintar dan berbudi pekerti luhur.
Pintar saja belumlah cukup, dan berbudi saja pun belumlah cukup. Simak lagi apa kata Kartini dalam suratnya yang ditulis pada tahun 1900.
“Tetapi apakah kecerdasan pikiran itu sudah berarti segala-galanya? Bila orang hendak sungguh-sungguh memajukan peradaban, maka kecerdasan pikiran dan pertumbuhan budi harus sama-sama dimajukan. Salah satu sifat orang Jawa yang tidak baik, yang kalau perlu dibasmi ialah sifat gila sanjungan...” (Kartini, 1900)
Ternyata menurut Kartini, perempuan harus bisa mengkombinasikan antara kepintaran, tanggung jawab dan juga budi pekerti. Bahkan pada potongan kalimat terakhir di atas, Kartini menganjurkan kepada perempuan untuk menjadi sosok yang selalu rendah hati.
Itu sejalan dengan surat Kartini yang ditulisnya kepada Stella, 18 Agustus 1899. “Bagi saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan fikiran dan keningratan budi (akhlak). Tidak ada manusia yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya dari pada melihat orang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholih orang yang bergelar macam Graaf atau Baron? Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku yang picik ini,…”
“Panggil aku Kartini saja, itulah namaku,” tulis Kartini dalam suratnya kepada Estelle Zeehandelaar, 25 Mei 1899. Tergambar jelas, Kartini memiliki sikap yang rendah hati meski ia berdarah biru, dan sikap inilah yang diinginkannya dan diperjuangkannya untuk kaum perempuan negeri ini.
“Bagi saya hanya dua macam kebangsawanan, bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Pada pikiran saya tidak ada yang lebih gila, lebih bodoh daripada melihat orang-orang yang membanggakan apa yang disebut “keturunan bangsawan” itu. (Kartini, 18 Agustus 1899).
Selain itu, Kartini berharap perempuan memiliki hati yang teguh, kesabaran yang tinggi dan pintar mengendalikan diri. Dalam suratnya yang ditulis pada 15 Agustus 1902, Kartini menegaskan, “Tiada terang yang tiada didahului oleh gelap. Mengendalikan diri adalah kemenangan jiwa atas tubuh, kesunyian adalah jalan ke arah pemikiran.”
Perempuan harus selalu optimis dalam hidupnya. Perempuan jangan punya sikap cepat menyerah jika mengalami kesulitan dalam hidupnya.
Perempuan harus punya sikap optimis, pintar membaca situasi, cerdik mencari jalan keluar serta yakin bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. “Hidup itu akan indah dan berbahagia apabila dalam kegelapan kita melihat cahaya terang,” ujar Kartini dalam surat lainnya.
Come on ladies… Bangkitlah dan perbaiki diri. Tokoh kebangkitan perempuan negeri ini telah berjuang untuk kemajuan kita. So, jadilah sosok perempuan yang pintar, tegar, lemah lembut, berbudi pekerti luhur dan bertanggung jawab.
“Dan bila pulau Jawa mempunyai ibu-ibu yang cakap dan pandai, maka peradaban satu bangsa hanyalah soal waktu saja,” demikian harapan Kartini terhadap kartini-kartini di negeri ini.
“Habis malam terbitlah terang. Habis badai datanglah damai. Habis juang sampailah menang. Habis duka, tibalah suka.” (Kartini, 15 Agustus 1902)


Oleh:
Yazid Nasution
Head of Content Perempuan.com
- See more at: http://www.perempuan.com/read/menjadi-perempuan-harapan-r-a-kartini#sthash.V8xD0oHS.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar