Pages

Sabtu, 28 April 2012

Geliat Sepatu Lokal,Pasar Lokal Sangat Menjanjikan


Pernahkan Anda menghitung ada berapa pasang jumlah sepatu di rumah Anda? Kalau saja setiap orang punya minimal dua pasang, bayangkan berapa banyak sepatu yang dibutuhkan penduduk Indonesia.
Kita perkirakan saja penduduk Indonesia yang memiliki sepatu berjumlah setengahnya dari total sekitar 240 juta orang. Itu saja sudah mencapai angka 120 juta. Kalau kemudian setiap orang punya minimal dua pasang sepatu, jumlah itu akan membengkak lagi.
Itulah setidaknya perkiraan Marga Singgih, Ketua Bidang Pengembangan Pasar Dalam Negeri Pengurus Nasional Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), ketika ditanya tentang gambaran besar kebutuhan dan produksi sepatu di Indonesia.
Jumlah kebutuhan yang cukup besar ini melahirkan banyak pengusaha sepatu. Aprisindo mencatat, saat ini terdapat lebih dari 100 merek nasional meski tidak semuanya diproduksi di negeri sendiri. Selain perusahaan besar, lahir pula industri kecil yang beberapa di antaranya dibuat perempuan-perempuan pencinta sepatu.
Di Jakarta, misalnya, ada La Spina yang mengangkat motif etnik Indonesia milik Liana Gunawan. Ada pula sepatu-sepatu tinggi seperti yang dikenakan selebritas Hollywood dengan label V&N kepunyaan Virry Nainggolan dan Nova Tanjung. Di Bandung, Prugna yang didirikan Dewi Arrum dan Donna Turner juga menghasilkan kreasi sepatu-sepatu modis.
Pada pameran Indonesia Fashion Week 2012, Februari lalu, kesempatan untuk ngobrol dengan Dewi dan Donna di anjungan Prugna sulit didapat karena pengunjung menyesaki anjungan itu sepanjang hari. Para perempuan -kebanyakan berusia muda- itu bukan sekadar berdesakan untuk mengamati produk Prugna. Mereka membeli sepatu-sepatu unik yang dipajang, sebagian lagi memesan berdasarkan model yang ada untuk disesuaikan dengan ukuran kaki mereka. ”Aduh, buat duduk aja enggak sempat,” kata Donna.
Hingga sebulan kemudian, ketika bertemu dengan Donna dan Dewi, keduanya masih sibuk menyiapkan sepatu-sepatu pesanan yang akan dikirimkan kepada pencinta baru Prugna yang antusias itu.
Bisnis sepatu yang mereka rintis pada umumnya didasari pengalaman bertualang mencari sepatu yang dibuat berdasarkan pesanan untuk diri sendiri, seperti yang dialami Liana. ”Ternyata tak mudah mencari tukang yang bisa membuat sepatu yang pas dengan kaki kita,” kata Liana.
”Hobi” mencari tukang sepatu berubah menjadi bisnis ketika Liana menemukan banyak perempuan senasib. Pertengahan 2009, dia mulai menawarkan jasa pembuatan sepatu kepada teman-temannya. Sepatunya sendiri dibuat oleh tukang yang dinilai sudah cocok membuatkan sepatu untuknya.
Tak diduga, nyatanya tak mudah menjalankan bisnis tersebut. Membuat sepatu membutuhkan akurasi yang sangat tinggi. Apalagi, kaki setiap orang tidak sama. ”Beda beberapa milimeter saja dengan ukuran kaki membuat tidak nyaman. Ini berbeda dengan baju yang mudah dirombak saat tidak sesuai ukuran,” kata Liana.
Kain tradisional
Ketika bisnisnya mulai berjalan normal, muncul tantangan lain, terutama persaingan dengan pemilik usaha sejenis. Apalagi, desain sepatunya tak punya ciri khas, tak ada bedanya dengan sepatu pesanan lain. ”Ibaratnya saya punya usaha, tetapi tidak bisa berkarya sendiri,” katanya.
Gencarnya kampanye batik memberi ide bagi Liana untuk menggunakan kain tradisional Indonesia. Kebetulan, dia mengoleksi batik yang hanya disimpan di lemari dalam bentuk kain.
Percobaan membuat sepatu dengan menggabungkan kulit sintetis dan batik Garutan yang berwarna cerah ternyata menarik perhatian mereka yang selama ini menjadi pelanggannya.
Batik Garutan, lalu pada perkembangannya batik Lasem, tenun Pinawetengan asal Minahasa, dan songket Palembang diaplikasikan pada sepatu dengan hak 5-12 cm, wedges, sepatu datar, hingga sepatu anak-anak. Karyawan yang semula berjumlah dua orang di bagian produksi bertambah menjadi 15 orang.
Kodrat perempuan yang selalu ingin berpenampilan cantik dan sesuai tren membuat Virry dan Nova, serta Dewi dan Donna, membuat sepatu-sepatu yang tengah dikenal di dunia selebritas dan panggung mode.
Di bawah nama V&N, Virry dan Nova membuat sepatu platform semodel sepatu Christian Louboutin danwedges dengan tinggi 10 cm ke atas. Sementara Dewi dan Donna lebih banyak berkreasi dengan wedgesdalam Prugna yang juga memproduksi sepatu tanpa tumit yang populer dikenakan Lady Gaga.
”Kami membuat sepatu dengan desain yang serupa dengan merek internasional, tetapi dengan harga lebih terjangkau,” kata Virry.
Tak heran, meski bisnis ini baru dijalankan Januari 2011, sudah ada 500 pesanan. ”Pernah ada pembeli dari Singapura yang memesan langsung sepuluh pasang dengan model yang berbeda,” ujar Virry, yang sepatu-sepatunya juga menjadi buruan sosialita Jakarta.
Dari mulut ke mulut
Sejak awal hingga saat ini, V&N masih dipromosikan dengan cara pemasaran mulut ke mulut. ”Kami bercita-cita membuka butik, tetapi untuk saat ini kami ingin memantapkan posisi dulu,” kata Nova.
Selain pemasaran antarteman dan kerabat, media online juga kerap menjadi media promosi industri kecil seperti yang dilakukan Dewi dan Donna sejak 2008. Belakangan, penjualan Prugna makin marak melalui Blackberry Messenger. Januari 2012, barulah merek yang diproduksi 200-300 pasang per bulan itu dipasarkan di gerai sendiri di Bandung.
Cara lain dipilih Liana sejak La Spina dengan ciri sepatu etnik lahir di tahun 2011, yaitu dengan menjadi peserta pameran. Sebelumnya, Liana juga sempat mengikuti tren berjualan melalui media sosial online yang akhirnya membuat dia kerepotan.
”Kalau untuk online, apalagi melalui BBM, saya harus selalu siap melayani pelanggan kapan pun, termasuk saat dini hari. Telat sedikit saja merespons, mereka bisa protes. Sempat merasa seram juga waktu itu, apalagi ketika banyak komplain,” tutur Liana.
Tak patah semangat dan terus belajar memperbaiki kekurangan, bisnis Liana berkembang hingga bisa mengikuti pameran di Thailand, Korea Selatan, dan Jepang.
”Saya ingin para pemakai sepatu ini membawa Indonesia dalam setiap langkah mereka,” kata Liana, yang membuat slogan ”Indonesia in Every Step” untuk produknya.
Dengan demikian, langkah Anda sekaligus jadi kebanggaan dan mencitrakan identitas, bukan?
(Yulia Sapthiani/Nur Hidayati)

Sumber: Kompas Cetak

Incoming search terms:

  • contoh kesalahan berbahasa dalam iklan dan alasannya (1)
  • tantangan berbisnis makanan organik (1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar