Sebagai salah seorang sastrawan Indonesia, menurut Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer merupakan seorang figur transisional. Umurnya di sekitar angka yang sama dengan kebanyakan sastrawan Angkatan 45, tetapi latar belakang pendidikan (di mana ia tidak termasuk yang bersekolah pada sekolah menengah Belanda) dan latar belakang budaya Jawa-nya yang begitu kuat, membuatnya berbeda dengan anggota lain kelompok tersebut.
Cerita-cerita yang ia tulis tidak menampakkan tradisi jenaka dan sarkastik sebagaimana Idrus, Balfas, atau Asrul Sani, melainkan justru lurus, serius, dan dengan gaya naratif dramatis. Bahasanya pendek dan penuh sugesti, seperti narasi yang biasa dibawakan seorang dalang pada pertunjukan wayang.
Perihal lain yang khas dan senantiasa menjadi identitas kepengarangannya, Pramoedya sering kali juga melatarbelakangi ceritanya dengan paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.
Perihal lain yang khas dan senantiasa menjadi identitas kepengarangannya, Pramoedya sering kali juga melatarbelakangi ceritanya dengan paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.
Meski jarang, ia pun menulis cerita dengan latar belakang masa pendudukan Jepang di Indonesia, antara lain melalui roman Perburuan. Karyanya yang terbesar—empat mahakarya yang merupakan tetralogi berjudul Karya Buru (meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca)—ditulis dengan latar belakang tamasya sejarah pergerakan nasional Indonesia 1898-1918. Menengok sejarah kembali ia lakukan untuk romannya yang terbit pertengahan 1990-an, berjudul Arus Balik, dengan latar belakang masuknya Islam ke tanah Jawa.
Kegandrungannya terhadap sejarah ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh teori sederhana Maxim Gorky: “The people must know their history” (rakyat mesti tahu sejarahnya). Pengaruh lain bisa disebutkan datang dari aliran realisme, terutama realisme sosialis. Bagi Pramoedya, salah satu watak realisme sosialis adalah “terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri”.
Pengaruh realisme sosialis jelas bukan sesuatu yang mengada-ada, sebab Pramoedya sendiri kerap mengungkapkan antusiasmenya terhadap aliran tersebut. Ia antara lain pernah menulis makalah dalam kesempatan memberikan prasaran untuk sebuah seminar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 26 Januari 1963, dengan judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Selain oleh Pramoedya, klaim realisme sosialis juga dipergunakan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai dasar kreatif mereka.
Dalam tradisi seni sendiri, kelahiran realisme sosialis sebagai aliran seni agak sulit ditentukan waktunya secara pasti. Akan tetapi, menurut Pramoedya, realisme sosialis diperkirakan muncul sekitar tahun 1905. Dalam hal ini Maxim Gorky adalah pengarang yang sering dianggap sebagai bapak pendiri realisme sosialis.
Novel-novel Gorky bisa dirujuk sebagai awal mula lahirnya genre ini. Triloginya yang meliputi novel-novel Childhood, My Apprenticeship, dan My Universities memiliki unsur-unsur realisme yang cukup kuat dengan sandaran yang bersifat semi-otobiografi. Atau dengan kata-kata Pramoedya, “secara otobiografik melukiskan pukulan-pukulan dan tindasan-tindasan yang diterimanya dari kelas kapitalis-borjuis”.
Meski demikian, Gorky tidak hanya berhenti pada realitas. Gorky mengembangkannya ke arah pemaknaan realitas itu sendiri sebagai sebuah proses dialektik untuk menemukan kebenaran. Realitas bukanlah kebenaran itu sendiri, melainkan setitik proses menuju kebenaran. Pramoedya menilai, kematangan realisme sosialis Gorky mencapai puncaknya dalam novel-novel seperti The Artamonovs dan Mother.
Akar realisme
Realisme sosialis lahir sebagai penerus tradisi seni kritis, yang terutama merupakan bentuk baru dari tradisi realisme yang berkembang di Eropa. Realisme (klasik), dalam catatan Georg Lukács, muncul dalam atmosfer “membuyarnya awan mistisisme, yang pernah mengelilingi fenomena sastra dengan warna dan kehangatan puitik serta menciptakan suatu atmosfer yang akrab dan ’menarik’ di sekitarnya”.
Dalam kalimat tersebut Lukács merujuk pada masa pertengahan abad kesembilan belas serta diterimanya filsafat marxis. Filsafat sejarah marxis, masih menurut Lukács, menganalisis manusia secara keseluruhan, dan menggambarkan sejarah evolusi manusia juga secara keseluruhan. Ia berusaha untuk menggali hukum tersembunyi yang mengatur seluruh hubungan manusia. Dengan cara ini, filsafat marxis memberi jembatan ke arah sastra klasik dan menemukan sastra klasik yang baru: Yunani kuno, Dante, Shakespeare, Goethe, Balzac, atau Tolstoy. “Realisme terbesar yang sesungguhnya dengan demikian menggambarkan manusia dan masyarakat sebagai wujud yang lengkap, dan bukan semata-mata memperlihatkan satu atau beberapa aspeknya”.
Dalam definisi Pramoedya, “Realisme sosialis merupakan metode yang meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Dalam menghadapi persoalan masyarakat, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang struktural fundamental”.
Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah yang berubah, terutama di Eropa, tempat kelahiran tradisi realisme itu sendiri. Hal ini tampak misalnya dalam tinjauan Lukács atas epik Tolstoy, War and Peace. “Prinsip-prinsip yang ia (Tolstoy) ikuti dalam realismenya secara obyektif menampilkan suatu kesinambungan tradisi realis terbesar, tapi secara subyektif prinsip-prinsip ini ditimbulkan dari masalah-masalah pada masanya serta dari sikapnya terhadap masalah terbesar zamannya, yakni hubungan penindas dan tertindas di pedesaan Rusia”.
Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana “penyadaran” bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Sebelumnya, sejarah dipandang sebagai suatu gerak yang tetap, mutlak, dan alamiah. Perkembangan selanjutnya dari cara pandang ini adalah munculnya pemahaman baru mengenai sejarah. Sejarah mulai dipandang sebagai perubahan yang justru tergantung kepada diri manusia itu sendiri.
“Para filsuf hanya memberikan interpretasi berbeda kepada dunia, yang perlu adalah mengubahnya”, itu salah satu bunyi Tesa-tesa mengenai Feuerbach Marx. Manusia, dengan pikiran dan perbuatannya, mampu menentukan arah dari gerak sejarah. Sejarah tidak bersifat mandiri atau berada di luar jangkauan manusia. Dalam arah pemikiran seperti itulah realisme sosialis lahir untuk menempatkan kaum lemah (proletar, dalam bahasa marxis) sebagai manusia-manusia penggerak dan penentu arah sejarah. Dan secara serta-merta aliran ini mengambil jarak atau berseberangan dengan tradisi realisme sebelumnya yang lebih memihak kepada golongan penguasa (atau borjuis), yang kemudian dikenal dengan nama realisme borjuis.
Seperti awal kelahirannya, masuknya realisme sosialis ke Indonesia tidak pernah diketahui secara pasti kapan pula waktunya. Namun yang jelas, kemunculannya bisa dianggap sangat erat kaitannya dengan keberadaan Lekra dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Lekra sendiri didirikan atas inisiatif DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950. Dua nama pertama adalah pemimpin teras PKI yang baru dibentuk lagi.
Sekitar tahun 1950-an, beberapa seniman kiri menemui Nyoto untuk menyatakan peranan seni dalam perjuangan kelas. Nyoto sendiri dalam pidato sambutan pendirian Lekra yang berjudul Revolusi adalah Api Kembang menyatakan bahwa hanya ada dua pertentangan antara dua asas besar, yakni kebudayaan rakyat dan kebudayaan bukan rakyat, dan tak ada jalan ketiga. Dan baginya, tak mungkin kebudayaan rakyat bisa berkibar tanpa merobek kebudayaan bukan rakyat.
Jauh sebelumnya, S Soedjojono, yang sering kali dianggap sebagai “Bapak Seni Rupa Modern Indonesia” (ia pun kelak dikenal sebagai aktivis Lekra) mengatakan, “Maka itu para pelukis baru akan tidak lagi hanya melukis gubuk yang damai, gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis-manis, tetapi juga akan melukis pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin; sandal-sandal, pantalon dan jaket orang di jalanan.”
Akan tetapi, Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia menyenarai, jauh hari ke belakang tradisi sastra realisme sosialis Indonesia telah muncul melalui, antara lain, Sumantri dengan karya novelnya yang berjudul Rasa Merdika. Nama lain yang bisa disebut ialah Semaoen (Hikayat Kadirun) serta Mas Marco Kartodikromo (Student Hijo).
Realisme sosialis mereka memang bukan layaknya realisme sosialis yang berkembang kemudian. Keberpihakan mereka terhadap rakyat pekerja yang lemah lebih merupakan suatu komitmen sosial, dan bukan atas dorongan landasan-landasan yang lebih ilmiah seperti halnya realisme sosialis sebagai aliran yang datang lebih kemudian. Atau dengan kata lain, realisme sosialis mereka bisa dikatakan sebagai realisme sosialis “cikal bakal” yang masih bersifat sosialisme utopis. Sedikit membela mereka, Pramoedya mengistilahkannya sebagai kekeliruan, bukan kesalahan.
“Karena, sekalipun pendasaran filsafat teori sudah benar, karena belum adanya tradisi yang cukup lama, memudahkan orang melukiskan atau menggambarkan sesuatu yang menyalahi teori marxis,” tulisnya.
Lepas dari itu, komitmen kerakyatan yang mereka bangun tampaknya telah menjadi dasar yang tak pernah hilang dalam perkembangan realisme sosialis Indonesia di kemudian hari, karena landasan inilah yang kelak menjadi alat pemersatu berbagai gaya yang muncul dalam realisme sosialis Indonesia.
Meskipun definisi realisme sosialis semacam itu masih demikian lentur, bisa dicatat sebagai awal mula realisme sosialis muncul sebagai aliran di Indonesia, sampai kemudian lahirlah Lekra. Kelenturan gaya realisme sosialis Lekra bisa dilihat dari tradisi seni rupa mereka, yang menurut Brita L Miklouho-Maklai dalam Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966, berpangkal pada telah adanya berbagai gaya, mulai dari gaya realisme (foto) Soedjojono, bentuk ekspresionis Affandi dan Hendra, ataupun gaya surealistik Harijadi. Pegangan umum yang biasanya digunakan oleh para seniman tersebut adalah prinsip kemanusiaan, keadilan, dan kepekaan terhadap kehidupan rakyat kecil.
Dalam Mukaddimah-nya sendiri, Lekra tak secara spesifik menyebut istilah realisme sosialis. Namun, indikasi itu bukannya tidak ada. Lihatlah rumusan-rumusan yang dicuplik dari Mukaddimah tersebut: “Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan…”, “Lekra membantah pendapat kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat”, atau “Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat mana pun di dalam hati manusia…”.
Seni yang dilihat dari sudut pandang pengertian bentuk tanpa isi merupakan seni yang secara terang-terangan ditolak oleh seniman-seniman Lekra. “Politik sebagai panglima” ditempatkan sebagai sebuah standar bagi penilaian terhadap karya seni. Karena itu, seniman tidak menempatkan diri sebagai pengabdi (melulu) artistik. Kemerdekaan tidak diartikan sebagai keleluasan beriseng sendiri hanya dalam lingkaran kesenian, tanpa menyadari fungsi seni sebagai alat revolusi. Seniman tidak boleh menjadi semacam menara gading kaum elitis, dan sebaliknya ia harus selalu berbaur dengan rakyat. Para pelukis, misalnya, harus menyempatkan diri berada di tengah-tengah petani untuk bisa melukiskan penderitaan mereka yang melarat itu, karena anatomi petani berbeda dengan anatomi orang-orang kota. Kegiatan kreasi seni—dengan kacamata seperti itu—akhirnya senantiasa diverifikasi apakah ia sejalan dengan motif perjuangan kelas atau tidak. Suatu motif yang kemudian dikenal sebagai gerakan “turba” atau turun ke bawah.
Pramoedya sendiri memahami gerakan turun ke bawah tidak dalam makna yang sesempit itu. Bagi Pramoedya, turun ke bawah adalah ibarat kembali ke dunia desa. Lebih jauh lagi, kembali ke dunia cikal-bakal desa. Bukan turun ke bawah, melainkan turun ke sejarah. Ke dasar. Inilah yang kemudian membentuknya untuk yakin betapa pentingnya sejarah bagi perkembangan manusia, di mana seni yang terlibat di dalamnya juga tidak bisa lepas dari peran penting sejarah.
Novel sejarah
Dengan begitu, dalam karya-karya Pramoedya, tradisi realisme tak hanya hadir begitu saja sebagai representasi kenyataan manusia dan masyarakat seutuhnya, atau dalam bentuknya yang semibiografis sebagaimana yang diterapkan oleh Gorky, tetapi juga menjelma dalam genrenya yang baru: novel sejarah.
Dalam studinya mengenai novel sejarah (Eropa), Lukács memperkirakan kebangkitan novel sejarah berawal pada abad kesembilan belas menyusul kejatuhan Napoleon. Memang ada novel sejarah sebelumnya, tetapi selalu dalam bentuk adaptasi sejarah klasik dan mitologi. Sejak masa Napoleon, sejarah tak hanya merupakan sejarah bagi orang besar, tetapi juga merupakan pengalaman sejarah bagi sebuah bangsa hingga ke stratanya yang paling bawah. “Untuk pertama kali mereka mengalami Perancis sebagai negara mereka sendiri, sebagai tanah air yang mereka ciptakan sendiri.”
Sejak itu pula, dalam sastra, sejarah juga dihadirkan sebagai pengalaman massa. Inilah tren kelahiran novel sejarah yang dimaksud Lukács. Dalam novel sejarah Sir Walter Scott, Waverley, misalnya, peristiwa Revolusi Perancis menghasilkan transformasi ekonomi dan politik hampir ke seluruh Eropa. Perubahan-perubahan ekonomi politik ini diterjemahkan Scott ke dalam nasib manusia, lebih tepatnya, menukik jauh ke psikologi manusia. “Dalam penggambaran Scott, kebutuhan akan sejarah selalu merupakan sebuah hasil, bukan suatu anggapan; itu merupakan atmosfer tragis dari sebuah periode, dan bukan obyek refleksi seorang penulis,” Lukács menyimpulkan.
Dalam novel sejarahnya, Pramoedya juga menampilkan tokoh “orang-orang biasa” (meski dalam Arok Dedes, Pramoedya datang dengan pahlawan istana). Sejarah dilihat secara totalitas dalam Tetralogi Buru, misalnya.
Dalam kuartet tersebut, Pramoedya tak hanya menampilkan sosok Minke, sang pengubah sejarah. Sosok pahlawan pengubah sejarah telah hadir dalam roman-roman sejarah bahkan mite-mite klasik, juga dalam tradisi romantik. Akan tetapi, dalam Pramoedya, Tetralogi Buru tak hanya merupakan kisah mengenai Minke, tetapi juga mengenai nasib sebuah bangsa, jika tidak bisa disebut nasib bangsa-bangsa (dalam bagian Anak Semua Bangsa diperlihatkan bahwa pergolakan utama kisah ini juga meliputi kebangkitan nasional di China, semangat Revolusi Perancis, kemenangan Jepang atas Rusia, dan lain sebagainya). Pengalaman sejarah tak hanya milik Minke, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Mereka semua merasakan “atmosfer tragis dari sebuah periode” sebagaimana diungkapkan Lukács di atas.
Ini benar, hampir dalam semua karya Pramoedya, tokoh-tokoh protagonisnya hadir untuk berjuang demi cita-citanya secara gigih, tetapi kemudian secara terpaksa menyerah kepada kenyataan yang ada. Sejarah Pramoedya bukanlah sejarah orang-orang yang menang (kecuali, sekali lagi dalam Arok Dedes). Lihat, misalnya, tokoh Wiranggaleng dalam roman Arus Balik. Juga tokoh Den Hardo dalam roman Perburuan yang, meskipun berhasil melihat kemerdekaan Indonesia yang diidam-idamkannya, harus ditebus dengan sangat mahal oleh kematian kekasihnya di depan mata.
Pramoedya sering kali memang tidak menempatkan karya sastranya dalam semboyan atau teriakan tentang cita-cita yang muluk. Yang terpenting bagi dirinya adalah bangkitnya kesadaran pembaca (masyarakat) akan tanggung jawab sebagai manusia untuk keadilan dan kebenaran.
(Sumber: lembar Bentara, Kompas, 5 Agustus 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar