Pages

Jumat, 22 Februari 2013

Dua Wilayah Kebenaran dalam Islam: Fiqih dan Taubikh


TULISAN YANG MENUNTASKAN PERSOALAN BESAR DI KALANGAN UMAT ISLAM TENTANG MASALAH PERTENTANGAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA
———————–
Oleh Moeflich Hasbullah dan Endang Somalia 
(Jama’ah Tausiyah SHAGHAFAN – Bandung)

Secara umum, para ulama membagi ajaran Islam kepada tiga wilayah pokok: aqidah, syari’at dan akhlak. Lebih umum lagi, ada yang membagi hanya menjadi dua wilayah saja yaitu syari’at dan hakikat. Pemikiran tentang aqidah melahirkan tauhid, pemahaman tentang syari’at melahirkan fiqh, kajian tentang hakikat melahirkan tasawuf. Tulisan ini mengenalkan pembagian wilayah keislaman yang belum pernah dirumuskan dalam literatur-literatur keislaman yaitu kebenaran wilayah fiqh dan kebenaran wilayah taubikh. Pemahaman ini, insya Allah, akan mempertemukan dan mendamaikan perbedaan dan perselisihan faham dalam tubuh umat Islam yang terjadi sepanjang sejarah terutama menyangkut hubungan antara sumber otentik Islam (Qur’an-hadits) dengan pemahaman budaya di kalangan kaum Muslimin.
Fiqh dan Taubikh
Semua individu Muslim mengenal apa itu fiqh. Fiqh adalah tatacara yang menyangkut aspek-aspek lahir dari peribadatan Islam. Fiqh merupakan penafsiran atau pemahaman para ulama tentang syari’at Islam. Lain kata, tafsir, kajian, penjelasan, kesimpulan dan fatwa para ulama tentang tatacara pelaksanaan syari’at Islam adalah fiqh (tafaqquh fiddin). Sebagai kajian hukum, atau aturan dan tatacara, fiqh tidak terlepas dari perbedaan pendapat karena pelaksanaan hukum dan aturan sangat bergantung pada konteks yaitu situasi dan kondisi saat penerapan hukum dijalankan. Karenanya, perdedaan telah menjadi ciri khas dari fiqh itu sendiri. Maka, di kalangan dunia Islam Sunni mengenal empat perbedaan madzhab fiqh: Malikiyah (Anas bin Malik), Hambaliyah (Ahmad bin Hanbal), Syafi’iyah (Idris Asy-Syafi’i) dan Hanafiyah (Abu Hasan Hanafi). Syi’ah memiliki madzhab fiqhnya sendiri yang mengacu pada Imam Ja’far Ash-Shadiq.
Apa itu taubikh? Kamus Bahasa Arab yang reputatif di dunia Islam yaitu Lisân Al-Arab karya Ibnu Mandhur dan Mu’jam Al-Wasith karya Dr. Ibrahim Unais, menjelaskan “taubikh” adalah bentuk masdar (infinitive)dari bentukan kata-kata wabbakha, yuwabbîkhu, tawbîkhan atautawbîkhiyyatan yang artinya adalah “teguran” atau “peringatan terus menerus” (sebagai bimbingan intensif) dalam bentuk kata-kata yang tegas, jelas bahkan keras. Taubikh juga bermakna perenungan dan nasehat-nasehat yang mendalam. Peringatan dan nasehat-nasehat yang mendalam agar kesadaran seorang Muslim meningkat kepada yang lebih tinggi. Dengan demikian, taubikh adalah ilmu yang mengajarkan level kesadaran yang tinggi melalui nasehat-nasehat yang mendalam. Levelnya di atas kesadaran syari’at atau fiqh. Bila fiqh menyangkut kesadaran tentang tatacara, taubikh menyangkut kesadaran tentang tatakrama.
Misalnya, fiqh mendefinisikan ibadah sunnah sebaga ibadah yang bila dikerjakan mendapat pahala, bila tidak dikerjakan tidak berdosa. Dalam kesadaran taubikh, definisi ini tidak patut disandarkan pada Nabi. Segala ibadah sunnah yang dilakukan Nabi adalah perilaku Nabi. Perilaku Nabi adalah contoh tauladan yang mulia. Sebagai tauladan yang baik (uswah hasanah) maka segala sunnah Nabi sepatutnya diikuti dan diamalkan semaksimal mungkin oleh pengikutnya. Dalam kesadaran ini, tidak perlu memikirkan wajib atau sunnahnya amal-amal Nabi. Mencontoh perilaku dan kebiasaan Nabi adalah kepatutan setiap Muslim. Begitulah seharusnya tatakrama/etika mengikuti pemimpin yang dicintai apalagi Nabi sebagai teladan umat yang keseluruhan akhlaknya adalah Al-Qur’an. Jadi, mengatakan “tidak berdosa” atau “tidak apa-apa” dalam mendefinisikan ibadah sunnah adalah sebuah kesadaran yang rendah dalam beragama, tidak patut dalam konteks kecintaan dan kesetiaan. Di taubikh, mencontoh perilaku Nabi tidak menghitung apa yang akan kita dapatkan, melainkan ketaatan semata-mata (sami’na wa atha’na). Menghitung pahala dan melihat sunat atau wajib adalah ibadah hitung-hitungan. Sementara kecintaan Allah dan Rasul-Nya pada umatnya tidak hitung-hitungan.
Kebenaran di Wilayah Fiqh
Sebagai wilayah hukum, fiqh memiliki kebenarannya sendiri. Kebenaran fiqh adalah semua hal yang menyangkut hukum, yang ukurannya adalah kekuatan dalil hukum. Wilayah kebenaran hukum fiqh ini adalah lima.
Pertama, kebenaran di sahlah. Kebenaran sahlah adalah kebenaran yang menyangkut validitas hukum. Sah tidaknya sebuah amal perbuatan ditentukan berdasarkan ketentuan hukum. Bila ketentuan hukumnya ada maka itu benar. Bila hukumnya tidak ada, maka itu tidak benar. Bila dasar hukumnya ada maka itu sah, bila tidak ada maka tidak sah. Sah tidaknya sebuah amal atau tindakan hukumlah yang menentukan. Kebenaran sahlah menyangkut ibadah-ibadah ritual (mahdhah) dan persembahan kepada Allah SWT dengan tatacara yang sudah jelas tuntunan dan aturannya di dalam fiqh Islam seperti wudhu, shalat, zakat, puasa, qurban, perkawinan, jual beli, waris dan sebagainya. Disinilah berlaku kaidah yang berbunyi: “Al-Ashlu fi al-ibâdati at-tahrimu (hattâ yadulla al-dalilu ‘ala khilâfihi)” (Dasar dari ibadah itu adalah perintah [sampai ada dalil yang menunjukkan khilafiyahnya]).
Kedua, kebenaran di tarekah. Tarekah (thariqah) artinya usaha atau jalan. Kebenaran tarekah adalah kebenaran dalam proses atau tatacara. Tatacara disini adalah proses atau metode menjalankan sebuah ibadah mahdhah seperti yang dicontohkan Nabi. Sebuah amal ibadah benar atau salah dinilai dari tatacara yang dijalankannya. Bila kebenaran sahlah menekankan dasar hukumnya, kebenaran tarekah menekankan aspek tatacaranya. Ibadah ritual kepada Tuhan tidak hanya harus ada dasar hukumnya tapi juga harus dijalankan dengan tatacara, langkah-langkah atau proses yang benar seperti yang dicontohkan Nabi. Bila tatacaranya benar maka ibadahnya akan benar, bila tatacaranya salah maka ibadahnya akan salah. Shalat, zakat, qurban, haji dan sebagainya harus dijalankan dengan tatacara yang benar karena sudah ada ketentuannya yang diatur dalam syari’at agama. Disinilah berlaku ayat Al-Qur’an: “Wa mâ âtâkumurrâsûlu fa khudzuhu wa mâ nahâkum anhu fantahu” (Apa-apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka ikutilah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS.Al-Hasyr : 7). Tentang shalat misalnya, hanya diperintah untuk mengikuti bagaimana Rasulullah melakukannya: “Shallû kamâ ra-aytumunî ushalli” (shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat). Demikian juga dalam zakat, puasa dan haji semua harus dilakukan berdasarkan ketentuan aturan yang telah digariskan dalam syari’at Islam.
Ketiga, kebenaran di olah. Di wilayah fiqh ada lagi kebenaran lain yaitu kebenaran di olah. Olah adalah kebenaran dalam analisis atau perdebatan. Masalah hukum sering diwarnai diskusi, analisis dan perdebatan. Ini adalah wilayah khas hukum. Disini benar tidaknya sebuah tindakan dalam peribadatan tergantung ada tidaknya alasan, kuat tidaknya dalil atau argumennya yang dipertentangkan. Dari olah pendapat dalil dan argumen itu nanti ditemukan yang paling kuat. Itulah kebenaran olah. Kebenaran olah ada pada logika, fikiran dan penjelasan. Mana penjelasan yang lebih kuat dan lebih lengkap itulah yang paling benar. Perbedaan yang sering muncul dalam madzhab fiqh dibenarkan selama ada alasan atau argumen yang sudah diolah melalui diskusi dan perdebatan. Kebenaran olah misalnya ditemukan dalam kegiatan bahtsul kutub (pembahasan/diskusi kitab-kitab) atau di arena persidangan untuk mencari sebuah kesimpulan dari masalah yang diperdebatkan.
Kebenaran keempat di dalam fiqh adalah kilah. Kilah adalah penolakan dengan menggunakan dalil-dalil tertentu. Menerima dan menolak adalah ciri khas masalah hukum. Kita dibenarkan tidak setuju, menolak atau membantah suatu pendapat selama ada dalil dan alasan yang dipegangnya. Dalam kilah, orang saling mengemukakan dalilnya masing-masing untuk mencari yang paling kuat. Sama dengan di kebenaran olah, ukuran kebenaran di kilah adalah kekuatan dalil atau argumen. Tetapi, sekuat apapun dalil atau argumen yang digunakan selalu ada ruang perbedaan pemahaman, maka tidak perlu ada penyeragaman dan kesamaan, apalagi dengan cara pemaksaan. Penyeragaman dan penyamaan hanya akan menimbulkan konflik dan pertentangan karena setiap orang memiliki alasan dan argumen masing-masing yang tidak bisa diseragamkan. Inilah ciri khas hukum. Dalam masalah hukum, kebenaran tidak ditentukan oleh kesamaan dan keseragaman melainkan oleh kekuatan alasan yang dimilikinya.
Terakhir adalah kebenaran di faedah yaitu manfaat dan tujuan hukum. Hukum itu ada tujuannya. Dalam Islam tujuan itu dikenal sebagaimaqashid asy-syar’iyah yaitu untuk memelihara agama (khifdz ad-din), memelihara jiwa (khifdz an-nafs), memelihara akal (khifdz al-’aqal), memelihara keturunan (khifdz an-nasb) dan memelihara harta (khifdzal-mal). Manfaat hukum adalah untuk pegangan, ketertiban dan kemashlahatan umat. Manfaat mengetahui hukum juga untuk ketenangan. Orang yang melakukan sesuatu dengan tahu dasar hukumnya akan mendatangkan ketenangan dan percaya diri. Itulah faedah hukum dalam kehidupan.
Kebenaran di Taubikh
Berbeda dengan wilayah fiqh yang ukuran kebenarannya adalah dalil hukum, dalam Islam ada wilayah kebenaran lain yang ukuran kebenarannya bukan hukum melainkan kepatutan. Wilayah ini disebut kebenaran wilayah taubikh. Kebenaran dalam agama dan kehidupan tidaklah sesempit hukum menentukannya. Lain kata, hukum tidak bisa menentukan segala kebenaran dalam kehidupan. Ada banyak wilayah dalam kehidupan manusia yang ukuran kebenarannya pun berbeda-beda pula. Perbedaan wilayah dan ukuran-ukuran ini patut diketahui dan difahami oleh umat Islam sehingga melahirkan sikap yang bijaksana dalam melihat masalah-masalah kehidupan yang sangat luas dan bernuansa. Bagaimana sebuah amal perbuatan dinilai patut atau benar dalam wilayah kesadaran taubikh? Ada lima wilayah kepatutan di wilayah ini.
Pertama, kepatutan di hikmah. Kepatutan di hikmah adalah sebuah perbuatan patut dilakukan karena ada hikmahnya. Disini tidak bicara hukum, dalil atau sah-tidak sahnya, tapi hikmah apa yang terkandung dalam sebuah amal kebaikan. Bila suatu perbuatan dirasakan ada hikmahnya, berarti itu benar, maka lakukanlah. Jadi, ukuran kebenarannya bukan hukum tapi manfaat. Misalnya, menyelenggarakan acara maulid Nabi. Apakah hikmah yang didapatkan dari penyelenggaraan acara itu? Bila yang dirasakannya adalah hidupnya kegiatan syiar Islam, makmurnya masjid, silaturahmi dengan tetangga, mengetahui keindahan akhlak Nabi, teringatkan kembali mutiara keteladanannya dan muncul dorongan untuk bisa mencontohnya, maka hikmahnya baik, berarti kegiatan itu benar, maka lakukanlah. Sebaliknya, bila hikmahnya tidak ada berarti tidak benar maka tinggalkanlah. Tidak perlu mencari-cari dalil karena wilayahnya berbeda. Dalil itu untuk ibadah-ibadah mahdhah yang jelas tuntunannya oleh Nabi, sedangkan mauludan bukan ibadah mahdhah. Kegiatan ini menyangkut kreatifitas budaya karenanya jelas Nabi tidak mungkin mencontohkannya. Demikian juga dengan tafakur, dzikir/wirid, ziarah, shalawatan, yasinan, membuat kreasi seni, budaya, teknologi, menciptakan hal-hal baru dan sebagainya. Dalam wilayah budaya tidak perlu mencari contoh Nabi karena bukan wilayah yang diatur oleh syari’at.
Kedua, kepatutan di nasihah. Mendengarkan nasehat dari siapapun datangnya adalah sebuah kepatutan, sebuah kebaikan dan sangat dianjurkan agama. Rasulullah SAW mengatakan: “Ad-dînu nâsihah!” (agama itu nasehat!) Maka mendengarkan nasehat adalah sebuah kebenaran. Kebenaran berarti harus diikuti dan dijalankan. Di wilayah taubikh, mendengarkan nasehat adalah sebuah keharusan. Tidak suka dan tidak mau mendengarkan nasehat, berarti melakukan perbuatan yang tidak patut atau tidak benar. Dengan demikian, tidak suka mendengarkan nasehat berarti melakukan pelanggaran agama. Sama dengan kebenaran di fiqh, pelanggaran di taubikh juga ada akibatnya. Bila pelanggaran di fiqh akibatnya adalah dosa, akibat pelanggaran di taubikh adalah menurunnya kualitas diri. Orang yang tidak suka mendengarkan nasehat, kualitas hidupnya tidak akan berubah dan meningkat. Orang yang tidak suka menerima nasehat artinya tidak mau meningkatkan ilmu dan kesadarannya. Orang seperti ini jelas kualitas dan kesadaran dirinya tidak akan berubah.
Ketiga, kepatutan di nikmahNikmah artinya musibah. Musibah akan dirasakan nikmat oleh seorang Muslim bila menghayatinya secara mendalam. Dibalik musibah selalu ada rahasia dan hikmahnya yang besar. Lain kata, musibah sering merupakan pintu dari sebuah anugrah yang dirasakannya kemudian. Musibah akan berubah menjadi kenikmatan bila disikapi sesuai dengan tuntunan agama. Nikmat adalah kemampun hati mensyukuri anugrah Allah yang datang kepada seseorang dalam hal apa saja. Semakin sering seorang Muslim merasakan nikmat semakin hiduplah hatinya, karena kenikmatan akan mengantarkan kita ingat dan syukur kepada Allah. Kenikmatan bisa datang melalui makanan, benda, amal perbuatan, suasana bahkan musibah. Bila sebuah amal perbuatan atau suasana terasa mendatangkan kenikmatan maka itu adalah benar, maka ikuti dan lakukanlah. Sebaliknya, hal-hal yang tidak mendatangkan kenikmatan, hindarilah karena tidak bermanfaat. Misalnya, setiap Anda melantunkan shalawatan atau nadzaman terasa nikmat di hati, terasa sejuk dan lebih dekat kepada Nabi, semakin mencitainya apalagi sambil berurai air mata. Itu benar maka lakukanlah dan biasakanlah. Menilainya dengan dalil hukum adalah salah kaprah karena nikmat adalah masalah penjiwaan bukan masalah hukum. Apalagi yang menilainya yang tidak merasakan kenikmatan itu. Kenikmatan bukan soal dalil tapi hati yang sedang hidup dan harus terus disemaikan agar rasa keberagaman semakin kuat, agar hati semakin peka. Demikian pula dengan wirid, dzikir, menikmati lantunan musik dan senandung shalawatan, ziarah ke makam wali, makan di warung, berada sebuah tempat, dekat dengan orang shaleh, rekreasi dll. Selama tidak bertentangan dengan syari’at dan menimbulkan kenikmatan berati berbuatan itu benar. Kenikmatan dekat dengan rasa syukur. Orang yang sering merasakan kenikmatan akan sering bersyukur dan hiduplah hatinya karena selalu mengingat Allah SWT.
Keempat, sebuah tindakan benar karena mendatangkan berkah ataubarokah. Berkah adalah kebaikan yang mengalir pada diri kita dari seseorang atau dari suasana dan lingkungan yang baik. Bentuk berkah ini berupa kebaikan dan manfaat, bukan fisik dan materi. Keberkahan tidak terhitung tapi terasakan. Keberkahan itu mahal nilainya. Keberkahan hanya didapatkan dari suasana yang baik, lingkungan yang baik atau orang-orang baik, orang shaleh dan taat beragama. Sebaliknya, orang, tempat dan suasana yang buruk, kotor dan tidak baik, akan jauh dari keberkahan. Di taubikh, bila orang, perilaku, suasana, tempat dan lingkungan mendatangkan keberkahan, berarti hal itu benar, maka ikutilah.
Misalnya, dalam Islam kita diajarkan bahwa dekat dengan ulama atau orang-orang shaleh akan mendatangkan berkah. Dengan demikian, dekat dengan mereka adalah kepatutan. Dekat dan rutin silaturahim pada ulama, rutin berkunjung meminta do’a dan ilmu akan mendatangkan keberkahan, yaitu kebaikan yang akan mengalir kepada kita sehingga kita terbawa menjadi baik dan shaleh. Melalui keberkahan, energi orang-orang shaleh yang telah berusaha membangun keshalehannya dengan susah payah dan melalui perjuangan yang berat akan mengalirkan gelombang elektro magnetiknya pada diri kita sehingga kita pun akan terbawa shaleh. Gelombang elektro magnetik itu berupa efek ruhani yang menular pada diri kita. Itulah yang disebut berkah. Pepatah populer mengatakan, dekat dengan pandai besi akan terasa panas, dekat dengan tukang minyak wangi akan tercium wangi. Jadi, saat seseorang berada pada tempat atau lingkungan yang menjadikannya lebih baik, saat itu ia sedang merasakan berkah dari lingkungannya. Bila itu dirasakan berarti perbuatan itu benar, maka ikutilah. Merasakan berkah adalah kesadaran hati yang sedang mendapat manfaat dari sesuatu dan ukurannya adalah rasa, bukan logika, dalil dan pikiran.
Terakhir, sebuah perbuatan adalah benar karena mengandung fadhilahatau keutamaan. Kebiasaan, kegiatan dan amal kebaikan apa saja yang mengandung fadhilah yang banyak adalah benar maka lakukanlah sesering mungkin. Misalnya, mengerjakan shalat dan puasa sunat, membaca Qur’an, istighfar, membaca shalawat, dzikir/wirid, membaca asma ul-husna tertentu, infak/sedekah, menolong dan saling membantu, introspeksi (muhasabah), merenung, menulis buku dll semuanya mengandung fadhilah yang banyak, maka seringkan, perbanyak dan rutinkanlah. Hindarilah mengingat-ingat hukumnya atau wajib sunatnya seperti didefinisikan dalam fiqh, karena mengejar fadhilah bukan soal hukum melainkan keutamaan. Membahas hukum tentang masalah keutamaan adalah salah kaprah. Misalnya: ”Apakah hukumnya banyak belajar?” ”Apa hukumnya rajin bekerja?” ”Apakah hukumnya menolong orang?” Bukankah itu pertanyaan yang salah karena tidak relevan?
Amal-amal fadhilah umumnya tidak ditentukan bilangan dan jumlahnya, semakin banyak semakin bagus. Memilah-milah ibadah menjadi wajib atau sunat hanya klasifikasi di fikiran saja, bukan untuk beramal. Mengingat-ingat wajib atau sunatnya hanya akan melemahkan niat ibadah kita karena dibatasi oleh definisi-definisi mana yang harus, mana yang boleh ditinggalkan yang akan menyebabkan ibadah seseorang tidak maksimal. Etika mengikuti Nabi sebagai teladan sempurna adalah mengikuti segala amal dan kebiasaan (sunnah)-nya sekemampuan kita tanpa mengingat-ngingat pahala atau hukum wajib dan sunatnya.
Semua amal kebaikan di wilayah taubikh akan bertahan dalam kehidupan kaum Muslimin selama dirasakan bermanfaat dan bermakna (meaningful). Begitu pun, otomatis akan hilang dengan sendirinya saat kegiatan-kegiatan itu tak lagi dirasakan bermakna (meaningless). Jadi, sesuai dengan fungsinya sebagai amal pelengkap, bukan kewajiban atau sebagai kreatifitas budaya, menghilangkan aktivitas individu dan kolektif di wilayah ini tidak perlu dengan penolakan dan larangan-larangan, apalagi menggunakan dalil-dalil naqli yang tidak nyambung. Amal-amal kebaikan yang sifatnya pelengkap dan kreasi akan hilang secara alami saat penganutnya tidak merasakan manfaat apa-apa dari aktifitasnya. Sebaliknya, larangan dan penjelasan apapun tidak pernah berhasil untuk meniadakannya selama dirasakan memberikan manfaat pada pelakunya. Penghayatan keagamaan adalah persoalan subyektif yang tidak bisa diintervensi oleh logika, dikooptasi oleh hukum dan dijelaskan oleh fikiran. Usaha-usaha pencegahan penghayatan agama, yang itu sebenarnya adalah esensi dari keberagamaan itu sendiri, akan dirasakan sebagai intevensi dan permusuhan. Karenanya, selain hanya pembuangan energi yang sia-sia, juga akan lebih dihayati sebagai serangan dan hujatan kelompok yang alih-alih meraih simpati malah menimbulkan antipati dan konflik berkepanjangan. Yang sebenarnya terjadi bukan lagi usaha-usaha tulus dan ikhlas untuk saling meluruskan melainkan usaha-usaha sadar untuk meneguhkan identitas kelompok dan mengukuhkan lingkungan simbolik yang semakin kaku. Inilah salah satu problem mendasar kehidupan umat Islam di Indonesia, bahkan di dunia, selama ini.
Penutup
Kehidupan itu banyak aspek, banyak wilayah dan banyak warna. Setiap wilayah harus diukur oleh ukurannya masing-masing yang proporsional dan akurat. Kebenaran itu bentuknya banyak tapi hakikatnya satu. “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang yang ragu” (Al-Baqarah: 147). Amal fiqh diukur oleh fiqh, amal taubikh diukur oleh taubikh. Keduanya memiliki kebenarannya masing-masing. Mencampuradukkan atau mengacaukan dua wilayah kebenaran ini hanya akan menghasilkan kesalahfahaman dan kekeliruan yang tidak perlu. Lebih buruknya, hanya akan menimbulkan konflik dan pertentangan yang berkepanjangan dan tidak akan pernah selesai yang muncul dari ketidaktahuan, kedangkalan pengetahuan dan hawa nafsu. Perbedaan di kalangan umat adalah alami dan tidak akan hilang, karenanya marilah menjadikannya sebagai rahmat, kekuatan dan anugrah. Sudah waktunya umat Islam tidak lagi mempertentangkan hal-hal yang memang bukan untuk dipertentangkan. Perbedaan wilayah kebenaran bukan untuk dipertentangkan melainkan untuk dilombakan (fastabiqul khairat). Sudah waktunya umat Islam bersatu dalam barisan yang kuat untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (Al-A’raf: 56). “Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al-Baqarah: 157). Saatnya ber-fastabiqul khairat untuk menggapai ridha Allah SWT dalam perbedaan, persatuan dan kekuatan.[]
Wallahu ‘alam!!
Penulis, Dosen UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar